BANGUNLAH JIWANYA, BANGUNLAH BADANNYA UNTUK INDONESIA RAYA
Powered By Blogger

Minggu, 21 Juni 2009

SARANA & PRASARANA OLAHRAGA



PENGERTIAN

Istilah sarana mengandung arti sesuatu yang dapat digunakan atau dapat dimanfaatkan. Sarana pendidikan jasmani ialah segala sesuatu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan di dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Termasuk didalamnya peralatan (aparatus), yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh siswa untuk melakukan kegiatan diatasnya, didalam / diantaranya atau dibawahnya. Misalnya : peti lompat (bertumpu diatasnya), bangku swedia (untuk merangkak, meniti, melompati, dan sebagainya),gelang-gelang, tiang dan matras lompat tinggi dan sebagainya. Demikian juga dengan perlengkapan (device), yaitu segala sesuatu yang melengkapi kebutuhan prasarana. Misalnya ; tanda bendera, garis pembatas, atau segala sesuatu yang dapat dimanipulasi dengan tangan atau kaki misalnya raket, bola, pemukul, dan sebagainya.
Seperti halnya prasarana pendidikan jasmani, maka sarana penjas juga bisa mewarnai pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani disekolah-sekolah.
Sebelum mempelajari lebih lanjut tulisan ini, coba anda jawab sendiri beberapa pertanyaan dibawah ini :


a) Dengan sarana yang dimiliki oleh sekolah anda, apakah anda bisa melakukan
aktivitas pendidikan jasmani secara optimal ?

b) Apakah sebagaian besar kecabangan olahraga yang diprogramkan bisa berjalan
sesuai dengan rencana yang anda susun ?

c) Apakah siswa bisa beraktivitas fisik secara optimal ?

d) Apakah jumlah atau mutu sarana yang dimiliki oleh sekolah anda bisa ditingkatkan


Sungguh berbahagialah bagi mereka (guru pendidikan jasmani) yang disekolahnya memiliki fasilitas pendidikan jasmani yang memadai karena bisa melibatkan berbagai pihak untuk menunjang kelancaran pembelajaran pendidikan jasmani. Namun demikian, banyak sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendidikan jasmani yang layak dan memadai bahkan sering kali harus mencari lahan kosong atau berdesak-desakan dengan beberapa sekolah lain untuk bisa menggunakan lahan yang ada. Belum lagi sarana yang mereka miliki juga sangat terbatas.
Oleh karena itu, jangan heran bila pelaksanaan pendidikan jasmani dari hari ke hari hanya begitu-begitu saja dan acapkali membosankan para siswa sendiri. Ujung-ujungnya bisa ada tanggapan bahwa pendidikan jasmani dianggap tidak begitu perlu.
Salah satu kendala kurang lancarnya pembelajaran pendidikan jasmani disekolah-sekolah, adalah kurang memadainya sarana yang dimiliki oleh sekolah-sekolah tersebut. Disamping itu ketergantungan para guru penjas pada sarana yang standar serta pendekatan pembelajaran pada penyajian teknik-teknik dasar juga standar sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Kedua hal tersebut menyebabkan pola pembelajaran yang kurang variatif dan cenderung membosankan siswa peserta didik.
Sebenarnya untuk pembelajaran pendidikan jasmani, seorang guru dapat berbuat banyak dan lebih lelusa dalam menggunakan, memanfaatkan , mengembangkan atau bahkan memodifikasi sarana yang akan digunakan. Dalam situasi dan kondisi sekolah-sekolah dewasa ini, dimana ruang gerak para siswa untuk beraktivitas fisik semakin berkurang, apalagi untuk melakukan kegiatan olahraga kecabangan dengan pendekatan konvensional, kiranya pemberian gerak dasar umum maupun gerak dasar dominan harus banyak dilakukan.
Dengan upaya tersebut diharapkan siswa peserta didik akan memiliki pengalaman gerak yang banyak serta beragam, sehingga ia pun akan menjadi anak yang kaya gerak dan bisa membina serta menumbuhkan konsep-konsep gerak yang variatif. Pengembangan sarana pendidikan jasmani artinya melengkapi yang sudah ada dengan cara mengadakan, memperbanyak dan membuat alat-alat yang sederhana atau memodifikasi. Tujuannya adalah untuk memberdayakan anak, agar bisa lebih banyak bergerak dalam situasi yang menarik dan gembira tanpa kehilangan esensi pendidikan jasmani itu sendiri.
Manakala mereka sadari bahwa anak didik kita perlu dibekali dengan berbagai gerak dasar umum maupun gerak dasar dominan dari setiap kecabangan olahraga, maka alat apapun bisa dimanfaatkan yang terpenting adalah kegiatan tersebut pada akhirnya tidak akan menghilangkan makna serta esensi pendidikan jasmani antara lain :

(a) Siswa tetap memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran pendidikan jasmani.

(b) Meningkatkan kemungkinan keberhasilan dlam berpartisipasi.

(c) Karena selalu difasilitasi dengan pembelajaran pola gerak dasar umum yang

banyak dan berkali-kali dilakukan, maka pada akhirnya diharapkan siswa dapat

melakukan pola gerak secara benar.

Sabtu, 20 Juni 2009

PEDAGOGI OLAHRAGA


ABSRAK

Pedagogi Olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk melandasi semua praktik dalam bidang keolahragaan yang mengandun maksud dan tujuan untuk mendidik.

Kajian ruang lingkup sport pedagogy istilah lazimnya dan disepakati di tingkat internasional memang tidak lepas dari pemahaman kita terhadap eksistensi ilmu keolahragaan (sport science). Dari perspektif sejarah, di Indonesia status dan pengakuan terhadap ilmu keolahragaan masih tergolong masih muda baik ditinjau dari tradisi dan paradiqma penelitian maupun produk riset yang dapat diandalkan untuk melandasi tataran praktis.

Selanjutnya diuraikan tentang pedagogi olahraga dari aspek perkembangannya, tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan batang tubuh pedagogi olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian, sekaligus pengembangan ilmu yang melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang bersifat mendidik. Itulah sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang pengembangan dan penerapannya, tidak hanya dalam lingkup penyelenggaraan Penjas dan OR di sekolah atau lembaga formal, tetapi juga diluar persekolahan seperti perkumpulan olahraga, terutama klub-klub pembinaan olahraga usia dini.

Kukuhnya landasan ilmiah bagi landasan bagi segenap upaya kependidikan dalam olahraga menuntun kearah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan yang diharapkan. Hanya dengan landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin prinsip akuntabilitas dalam pendidikan jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula para pendidik di bidang olahraga dapat mempertanggungjawabkan upaya pembinaannya secara terbuka kemasyarakat.

Perspektif Sejarah.

Kerangkan ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamblang, mulai dikenal sejak thn 1975 tatkala adanya lokakarya internasional sport science. Hasilnya berdampak kuat terhadap pengembangan STO di Indonesia meskipun kala itu muatannya sesak dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa sub disiplin ilmu keolahragaan (misalnya biomekanik, filsafat olahraga, fisiologi olahraga, dalam nuansa sendiri-sendiri) mulai dikembangkan yang didukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan. (misalnya psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu social lainnya (misalnya sosiologi dan anthropology) yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih dan Pembina olahraga.

Struktur Ilmu Keolahragaan


Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak th 1979, sangat membantu kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy, sebagai salah satu diantaranya, sebagai isi dari ilmu keolahragaan.

Ada 7 (tujuh) bidang teori yang mendukung, yakni (1) sport medicine, (2) sport beomechanic, (3) sport psychology, (4) sport sociology, (5) sport pedagogy, (6) sport history dan (7) sport philosophy. Masing-masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport medicine dan sport biomechanic olahraga termasuk kedalam kelompok ilmu pengetahuan alam, sementara sport psychology, sport sosiology dan sport pedagogy tergolong kedalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dan behavioral. Sport history dan sport philosophy termasuk kedalam kelompok hermeneutical-normative science. Paparan tersebut juga menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biology/fisika, psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat.

Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang menjadi jati diri ilmu keolahragaan, bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor : (1) gerak (movement), (2) bermain ( play ) (3) pelatihan (training) dan (4) pengajaran dalam (5) olahraga (sport instruction) . dari kelima wilayah spesifik ini lahirlah 5 (lima) dimensi dari perspektif ilmu dan teori yakni movement science dan movement theory ; play science dan play theory ; training science dan training theory ; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.
Dengan demikian semakin jelas gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori. Kecenderungan ini menunjukkan perkembangan ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan pragmentasi.

Landasan Filosofis Pedagogy Olahraga

Pandangan dualisme Decartes yang memahami dikhotomi jiwa dan badan berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang semata-mata sebagai sebuah objek, yang diungkapkan dalam perumpamaan yang lazim dikenal ” the body instrument” ” the body-machine” atau ” the body-computer”. Sebagai akibatnya maka sedemikian menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.
Selanjutnya, konsep yang dikembangkan Maurice Merleau-Ponty tentang ” the body-subjek “ dapat dipandang sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa manusia itu sendirilah yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif sedemikian rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Idea tentang the body subject mengaskan kesatuan antara jiwa dan badan.
Pendidikan jasmani dan Pedagogi Olahraga.
Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogi) beragam pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandag sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam kerangka ilmu keolahragaan.

Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pierson, Cheffers, dan Barette 1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradiqma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai ”induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep / teori terkait dan relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradiqma interdisiplin (Matveyev, dalam Rusli lutan, 1988). Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dan struktural ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973).

Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai ”pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rusli Lutan, 1988; dalam laporan hasil The Second Asia-pasicic Congress Of Sport and Physical Education University President).

Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu ”fenomena olahraga fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga.

Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogy olahraga mencakup 2 (dua) hal utama : (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoritis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut, (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya meliter dan drill di beberapa negara, khususnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoritis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalian jiwa dan kemauan.

Di Indonesia, baik dalam pengertian paradiqma pengembangan keilmuannya, maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah ”embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan dalam international Workshop on Sport Science. 1975 di bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari STO se-Indonesia dengan nara sumber ahli dari jerman Barat (Prof. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen dan Bodo Schmidt). Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema-tema diskusi olahraga kompetitif, disekitar feri-feri ilmu kepelatihan dan sport medicine.
Sejak tahun 1980-an perubahan memang banyak terjadi di tingkat international, terutama di AS utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan ”sport Pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani dan kurikulum penididikan jasmani mereka sendiri. (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan yang amat rendah dipasar kerja (disekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.

Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradiqma interdisiplin-integratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak lagi memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan Internssional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari jerman, tatkala latar belakang filsafat / hermenetik dari ”teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960-an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).

Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak saja sepenuhnya berasal dari jerman yang muncul pada tahun 1960-an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga perang dunia I, seperti juga buah pikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dan artikel yang ditulis de Courbertin (Perancis), Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth-Jarkowsky (Austria-Honggaria) sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulosan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat olimpiade, dan pokok pikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pdagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berpikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan ” body and mind ” di Amerika Serikat dan Jerman.

Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920-an . Perkembangan ini didukung kuat oleh Dokter olahraga yang dikenal di tingkat Internasional yaitu Sargent (1906) di AS, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh ini menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metode alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923)
Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga.
Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Erofa lebih menunjuk kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan untuk yang bersifat mendidik, meskipun ada kecenderungan kearah penyempitan makna semata-mata menelaah proses pengajaran belaka, seperti yang dikatakan ”sport pedagogy deal with teaching and learning of all age group ….target group are individual with low level of performance,” atau ”sport pedagogy is constituted in the actors and actions of teaching and learning porpuseful human movement”. Dalam ungkapan yang lebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga adalah “ the science …which is concerned with the relationship between sport and education (misalnya dalam tulisan Grupe & Kurz).

Definisi ini sangat banyak mebantu kita untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak berurusan dengan segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam rangka proses pembudayaan, khususnya transformasi nilai-nilai inti, yang memang, jika disimak secar cermat, bahwa olahraga itu sanat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam pembekalan kecakapan hidup.

Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan dalam konteks olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja system persyarafan dalam sebuah koordinasi yang luar biasa cepatnya, mekanisme persepsi dan aksi yang sinkron dibuahkan dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan masalah yang jitu selain kreativitas, seperti tampak dalam peragaan para atlit tinggi (misalnya tampak dalam peragaan professional bola basket dan sepakbola). Unsur estetika melekat kuat di dalamnya dalam wujud irama tampilan yang anggun dan selaras untuk berekpresi (lihat misalnya dalam tampilan atlit figure skating). Pengembangan potensi sekaligus pembentukan jelas-jelas terjadi melalui semua adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula mengklaim bahwa pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.

Bahwa proses ajar merupakan bagian dan keterjadian pendidikan jasmani dan olahraga harus diakui, dan perubahan laku dimaksud memang terjadi melalui proses itu. Itulah sebabnya pada tataran praktis disyaratkan bahwa harus selalu terjadi proses transaksi antara guru dan murid, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni apa sesungguhnya substansi yang disampaikan oleh guru kepada murid, dan karena itu PENGETAHUAN apa yang terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kretik keras dari masyarakat dan orang tua siswa terhadap profesi pendidikan jasmani dan olahraga ialah bahwa hanya sedikit terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekali tidak berlangsung proses ajar.

Kompleksitas yang terjadi benar-benar pada tataran praktis, bukan teoritis yang berakibat fatal bagi tuunnya wibawa para pemangku profesi itu. Sungguh tidak terelakkan bahwa kesenjengan antara harapan dan kenyataan (das sollen or de sain) memang telah terjadi dalam pencapaian tujuan pendidikan jasmani dan olahraga yang terkait dengan kelemahan dalam hal kejelasan landasan keilmannya dan keterhubungan antara aspek teoritis dan praktis.


Jumat, 05 Juni 2009